POHON NATAL
Kebiasaan memasang pohon Natal sebagai
dekorasi dimulai dari Jerman. Pemasangan pohon Natal yang umumnya dari pohon cemara, atau
mengadaptasi bentuk pohon cemara, itu dimulai pada abad ke-16.
Saat penduduk Jerman menyebar ke berbagai wilayah
termasuk Amerika, mereka pun kerap memasang cemara yang
tergolong pohon evergreenuntuk dekorasi Natal di dalam rumah. Dari catatan
yang ada, orang Jerman di Pennsylvania Amerika Serikat
memajang pohon Natal untuk pertama kalinya pada tahun 1830-an.
Pohon Natal bukanlah suatu keharusan di gereja
maupun dirumah sebab ini hanya merupakan simbol agar kehidupan rohani kita
selalu bertumbuh dan menjadi saksi yang indah bagi orang lain "evergreen".
Pohon Natal (cemara) ini juga melambangkan "hidup kekal", sebab
pada umumnya di musim salju hampir semua pohon rontok daunnya, kecuali pohon
cemara yang selalu hijau daunnya.
Pemasangan pohon cemara, baik asli maupun yang
terbuat dari plastik, di tengah kota atau di tempat-tempat umum pun menjadi
pemandangan biasa menjelang Natal. Salah satu yang terbesar adalah pohon yang
ada di Rockefeller Center di 5th Avenue New York Amerika
Serikat.
A. ASAL MULA POHON
NATAL
Kisah Pohon Natal merupakan bagian dari riwayat
hidup St. Bonifasius, yang nama aslinya adalah Winfrid. St. Bonifasius
dilahirkan sekitar tahun 680 di Devonshire, Inggris. Pada usia lima tahun, ia
ingin menjadi seorang biarawan; ia masuk sekolah biara dekat Exeter dua tahun
kemudian. Pada usia empatbelas tahun, ia masuk biara di Nursling dalam wilayah
Keuskupan Winchester. St. Bonifasius seorang yang giat belajar, murid abas
biara yang berpengetahuan luas, Winbert. Kelak, Bonifasius menjadi pimpinan
sekolah tersebut.
Pada waktu itu, sebagian besar penduduk Eropa utara
dan tengah masih belum mendengar tentang Kabar Gembira. St. Bonifasius
memutuskan untuk menjadi seorang misionaris bagi mereka. Setelah satu
perjuangan singkat, ia mohon persetujuan resmi dari Paus St. Gregorius II. Bapa
Suci menugaskannya untuk mewartakan Injil kepada orang-orang Jerman. (Juga pada
waktu itu St. Bonifasius mengubah namanya dari Winfrid menjadi Bonifasius). St.
Bonifasius menjelajah Jerman melalui pegunungan Alpen hingga ke Bavaria dan
kemudian ke Hesse dan Thuringia. Pada tahun 722, paus mentahbiskan St.
Bonifasius sebagai uskup dengan wewenang meliputi seluruh Jerman. Ia tahu bahwa
tantangannya yang terbesar adalah melenyapkan takhayul kafir yang menghambat
diterimanya Injil dan bertobatnya penduduk. Dikenal sebagai “Rasul Jerman”, St.
Bonifasius terus mewartakan Injil hingga ia wafat sebagai martir pada tahun
754. Marilah kita memulai cerita kita tentang Pohon Natal.
Dengan rombongan pengikutnya yang setia, St.
Bonifasius sedang melintasi hutan dengan menyusuri suatu jalan setapak Romawi kuno
pada suatu Malam Natal. Salju menyelimuti permukaan tanah dan menghapus
jejak-jejak kaki mereka. Mereka dapat melihat napas mereka dalam udara yang
dingin menggigit. Meskipun beberapa di antara mereka mengusulkan agar mereka
segera berkemah malam itu, St. Bonifasius mendorong mereka untuk terus maju
dengan berkata, “Ayo, saudara-saudara, majulah sedikit lagi. Sinar rembulan
menerangi kita sekarang ini dan jalan setapak enak dilalui. Aku tahu bahwa
kalian capai; dan hatiku sendiri pun rindu akan kampung halaman di Inggris, di
mana orang-orang yang aku kasihi sedang merayakan Malam Natal. Oh, andai saja
aku dapat melarikan diri dari lautan Jerman yang liar dan berbadai ganas ini ke
dalam pelukan tanah airku yang aman dan damai! Tetapi, kita punya tugas yang
harus kita lakukan sebelum kita berpesta malam ini. Sebab sekarang inilah Malam
Natal, dan orang-orang kafir di hutan ini sedang berkumpul dekat pohon Oak
Geismar untuk memuja dewa mereka, Thor; hal-hal serta perbuatan-perbuatan aneh
akan terjadi di sana, yang menjadikan jiwa mereka hitam. Tetapi, kita diutus
untuk menerangi kegelapan mereka; kita akan mengajarkan kepada saudara-saudara
kita itu untuk merayakan Natal bersama kita karena mereka belum mengenalnya.
Ayo, maju terus, dalam nama Tuhan!”
Mereka pun terus melangkah maju dengan dikobarkan
kata-kata semangat St. Bonifasius. Sejenak kemudian, jalan mengarah ke daerah
terbuka. Mereka melihat rumah-rumah, namun tampak gelap dan kosong. Tak seorang
pun kelihatan. Hanya suara gonggongan anjing dan ringkikan kuda sesekali
memecah keheningan. Mereka berjalan terus dan tiba di suatu tanah lapang di
tengah hutan, dan di sana tampaklah pohon Oak Kilat Geismar yang keramat. “Di
sini,” St. Bonifasius berseru sembari mengacungkan tongkat uskup berlambang salib
di atasnya, “di sinilah pohon oak Kilat; dan di sinilah salib Kistus akan
mematahkan palu sang dewa kafir Thor.”
Di depan pohon oak itu ada api unggun yang sangat
besar. Percikan-percikan apinya menari-nari di udara. Warga desa mengelilingi
api unggun menghadap ke pohon keramat. St. Bonifasius menyela pertemuan mereka,
“Salam, wahai putera-putera hutan! Seorang asing mohon kehangatan api unggunmu
di malam yang dingin.” Sementara St. Bonifasius dan para pengikutnya mendekati
api unggun, mata orang-orang desa menatap orang-orang asing ini. St. Bonifasius
melanjutkan, “Aku saudaramu, saudara bangsa German, berasal dari Wessex, di
seberang laut. Aku datang untuk menyampaikan salam dari negeriku, dan
menyampaikan pesan dari Bapa-Semua, yang aku layani.”
Hunrad, pendeta tua dewa Thor, menyambut St.
Bonifasius beserta para pengikutnya. Hunrad kemudian berkata kepada mereka,
“Berdirilah di sini, saudara-saudara, dan lihatlah apa yang membuat dewa-dewa
mengumpulkan kita di sini! Malam ini adalah malam kematian dewa matahari,
Baldur yang Menawan, yang dikasihi para dewa dan manusia. Malam ini adalah
malam kegelapan dan kekuasaan musim dingin, malam kurban dan kengerian besar.
Malam ini Thor yang agung, dewa kilat dan perang, kepada siapa pohon oak ini
dikeramatkan, sedang berduka karena kematian Baldur, dan ia marah kepada
orang-orang ini sebab mereka telah melalaikan pemujaan kepadanya. Telah lama
berlalu sejak sesaji dipersembahkan di atas altarnya, telah lama sejak
akar-akar pohonnya yang keramat disiram dengan darah. Sebab itu daun-daunnya
layu sebelum waktunya dan dahan-dahannya meranggas hingga hampir mati. Sebab
itu, bangsa-bangsa Slav dan Saxon telah mengalahkan kita dalam pertempuran.
Sebab itu, panenan telah gagal, dan gerombolan serigala memporak-porandakan
kawanan ternak, kekuatan telah menjauhi busur panah, gagang-gagang tombak
menjadi patah, dan babi hutan membinasakan pemburu. Sebab itu, wabah telah
menyebar di rumah-rumah tinggal kalian, dan jumlah mereka yang tewas jauh lebih
banyak daripada mereka yang hidup di seluruh dusun-dusunmu. Jawablah aku, hai
kalian, tidakkah apa yang kukatakan ini benar?” Orang banyak menggumamkan
persetujuan mereka dan mereka mulai memanjatkan puji-pujian kepada Thor.
Ketika suara-suara itu telah reda, Hunrad mengumumkan,
“Tak satu pun dari hal-hal ini yang menyenangkan dewa. Semakin berharga
persembahan yang akan menghapuskan dosa-dosa kalian, semakin berharga embun
merah yang akan memberi hidup baru bagi pohon darah yang keramat ini. Thor
menghendaki persembahan kalian yang paling berharga dan mulia.”
Dengan itu, Hunrad menghampiri anak-anak, yang
dikelompokkan tersendiri di sekeliling api unggun. Ia memilih seorang anak
laki-laki yang paling elok, Asulf, putera Duke Alvold dan isterinya, Thekla,
lalu memaklumkan bahwa anak itu akan dikurbankan untuk pergi ke Valhalla guna
menyampaikan pesan rakyat kepada Thor. Orang tua Asulf terguncang hebat.
Tetapi, tak seorang pun berani berbicara.
Hunrad menggiring anak itu ke sebuah altar batu yang
besar antara pohon oak dan api unggun. Ia mengenakan penutup mata pada anak itu
dan menyuruhnya berlutut dan meletakkan kepalanya di atas altar batu.
Orang-orang bergerak mendekat, dan St. Bonifasius menempatkan dirinya dekat
sang pendeta. Hunrad kemudian mengangkat tinggi-tinggi palu dewa Thor keramat
miliknya yang terbuat dari batu hitam, siap meremukkan batok kepala Asulf yang
kecil dengannya. Sementara palu dihujamkan, St. Bonifasius menangkis palu itu
dengan tongkat uskupnya sehingga palu terlepas dari tangan Hunrad dan patah
menjadi dua saat menghantam altar batu. Suara decak kagum dan sukacita
membahana di udara. Thekla lari menjemput puteranya yang telah diselamatkan
dari kurban berdarah itu lalu memeluknya erat-erat.
St. Bonifasius, dengan wajahnya bersinar, berbicara
kepada orang banyak, “Dengarlah, wahai putera-putera hutan! Tidak akan ada
darah mengalir malam ini. Sebab, malam ini adalah malam kelahiran Kristus,
Putera Bapa Semua, Juruselamat umat manusia. Ia lebih elok dari Baldur yang
Menawan, lebih agung dari Odin yang Bijaksana, lebih berbelas kasihan dari
Freya yang Baik. Sebab Ia datang, kurban disudahi. Thor, si Gelap, yang
kepadanya kalian berseru dengan sia-sia, sudah mati. Jauh dalam bayang-bayang
Niffelheim ia telah hilang untuk selama-lamanya. Dan sekarang, pada malam
Kristus ini, kalian akan memulai hidup baru. Pohon darah ini tidak akan
menghantui tanah kalian lagi. Dalam nama Tuhan, aku akan memusnahkannya.” St.
Bonifasius kemudian mengeluarkan kapaknya yang lebar dan mulai menebas pohon.
Tiba-tiba terasa suatu hembusan angin yang dahsyat dan pohon itu tumbang dengan
akar-akarnya tercabut dari tanah dan terbelah menjadi empat bagian.
Di balik pohon oak raksasa itu, berdirilah sebatang
pohon cemara muda, bagaikan puncak menara gereja yang menunjuk ke surga. St.
Bonifasius kembali berbicara kepada warga desa, “Pohon kecil ini, pohon muda
hutan, akan menjadi pohon kudus kalian mulai malam ini. Pohon ini adalah pohon
damai, sebab rumah-rumah kalian dibangun dari kayu cemara. Pohon ini adalah
lambang kehidupan abadi, sebab daun-daunnya senantiasa hijau. Lihatlah,
bagaimana daun-daun itu menunjuk ke langit, ke surga. Biarlah pohon ini
dinamakan pohon kanak-kanak Yesus; berkumpullah di sekelilingnya, bukan di
tengah hutan yang liar, melainkan dalam rumah kalian sendiri; di sana ia akan
dibanjiri, bukan oleh persembahan darah yang tercurah, melainkan
persembahan-persembahan cinta dan kasih.”
Maka, mereka mengambil pohon cemara itu dan
membawanya ke desa. Duke Alvold menempatkan pohon di tengah-tengah rumahnya
yang besar. Mereka memasang lilin-lilin di dahan-dahannya, dan pohon itu tampak
bagaikan dipenuhi bintang-bintang. Lalu, St. Bonifasius, dengan Hundrad duduk
di bawah kakinya, menceritakan kisah Betlehem, Bayi Yesus di palungan, para
gembala, dan para malaikat. Semuanya mendengarkan dengan takjub. Si kecil
Asulf, duduk di pangkuan ibunya, berkata, “Mama, dengarlah, aku mendengar para
malaikat itu bernyanyi dari balik pohon.” Sebagian orang percaya apa yang
dikatakannya benar; sebagian lainnya mengatakan bahwa itulah suara nyanyian
yang dimadahkan oleh para pengikut St. Bonifasius, “Kemuliaan bagi Allah di
tempat mahatinggi, dan damai di bumi; rahmat dan berkat mengalir dari surga
kepada manusia mulai dari sekarang sampai selama-lamanya.”
B. LEGENDA
Santo Bonifacius
Menurut sebuah legenda, rohaniawan Inggris bernama
Santo Bonifasius yang
memimpin beberapa gereja di Jerman dan Perancis dalam
perjalanannya bertemu dengan sekelompok orang yang akan mempersembahkan seorang
anak kepada dewa Thor di
sebuah pohon ek.
Untuk menghentikan perbuatan jahat mereka, secara ajaib Santo Bonifasius
merobohkan pohon ek tersebut dengan pukulan tangannya. Setelah kejadian yang
menakjubkan tersebut di tempat pohon ek yang roboh tumbuhlah sebuah pohon
cemara.
Martin Luther dan pohon cemaranya
Cerita lain mengisahkan kejadian saat Martin Luther,
tokoh Reformasi Gereja, sedang berjalan-jalan di
hutan pada suatu malam. Terkesan dengan
keindahan gemerlap jutaan bintang di angkasa yang sinarnya menembus cabang-cabang pohon
cemara di hutan, Martin Luther menebang sebuah pohon cemara kecil dan
membawanya pulang pada keluarganya di rumah. Untuk menciptakan gemerlap bintang
seperti yang dilihatnya di hutan, Martin Luther memasang lilin-lilin pada tiap
cabang pohon cemara tersebut.
C. KONTROVERSI
Terlepas dari kebenaran kisah-kisah di atas,
hingga hari ini pemasangan Pohon Natal masih menimbulkan pro dan
kontra di kalangan umat Kristen. Bagi orang-orang yang tidak berkenan dengan pohon
Natal, mengisahkan bahwa pada zaman dahulu bangsa Romawi menggunakan pohon
cemara untuk perayaan Saturnalia, mereka
menghiasinya dengan hiasan-hiasan kecil dan topeng-topeng kecil, karena pada
tgl 25 Desember ini adalah hari kelahiran dewa matahari, Mithras,
yang asal mulanya dari Dewa Matahari Iran yang kemudian dipuja di Roma.
Demikian pula hari Minggu adalah hari untuk menyembah dewa matahari sesuai
dari arti kata Zondag, Sunday atau Sonntag. Perlu diketahui
juga bahwa dewa-dewa matahari lainnya, seperti Osiris, dewa matahari orang Mesir, dilahirkan pada
tanggal 27 Desember. Demikian pula Dewa matahari Horus
dan Apollo lahir pada tanggal 28 Desember.
Maka dari itu ada aliran-aliran gereja tertentu yang
mengharamkan tradisi pohon Natal, sebab mereka menganggap ini sebagai pemujaan
dewa matahari. Pemasangan pohon itu dianggap sebagai bentuk penyembahan
berhala. Reaksi penolakan itu bahkan awalnya sempat diwarnai keputusan
pemerintah Jerman untuk mendenda siapa pun yang memasang pohon cemara sebagai
pohon Natal.
Hal itu mulai berubah, saat gambar Ratu Victoria dari Inggris, Pangeran Albert dari Jerman, dan
anak-anaknya dengan latar pohon cemara, diilustrasikan diLondon News. Karena sosok
Victoria yang sangat populer, pemuatan gambar itu di media massa pun membuat
pohon cemara menjadi pilihan lazim sebagai pohon Natal.
Sebuah penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat
menemukan bahwa pohon Natal dapat menjadi rumah bagi 25000 ekor serangga. Jenis
serangga yang mendiami pohon Natal diantaranya Collembola, Psocoptera, tungau, ngengat dan laba-laba.
Seharusnya mereka berhibernasi di musim dingin,
namun dengan keberadaan sebuah pohon dan adanya kehangatan dari api unggun maupun pemanas ruangan, mereka
menjadi percaya bahwa musim semi telah tiba sehingga berkembang
biak di pohon dan sekitarnya.
D. TRADISI
Setelah masyarakat AS mengikuti jejak Inggris menggunakan pohon cemara
pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, industri pun semakin berkembang dan
merambah ke berbagai negara. Termasuk industri berbagai hiasan pohon Natal
seperti bola-bola yang digantung, pernak-pernik Santa Claus, tinsel (semacam
tali berumbai yang dililitkan ke pohon), dan lainnya.
Karena penggunaan pohon cemara merupakan tradisi
Eropa, ekspresi sukacita yang dilambangkan dengan berbagai dekorasi itu
berbeda-beda di setiap negara. Indonesia dan Filipina menjadi negara yang sangat terpengaruh
tradisi Eropa itu sampai akhirnya para umat Kristen membeli pohon buatan tapi
yang penting berbentuk cemara.
Di Afrika
Selatan keberadaan
pohon Natal bukanlah sesuatu yang umum. Sementara masyarakat India, lebih memilih pohon
mangga dan pohon pisang.
Categories:
0 komentar:
Post a Comment